Oleh: KH Husin Naparin Lc MA
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kalsel
Pemimpin harus muslim, demikian penjelasan dari Guru Besar Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof Dr Said Aqil Al Munawwar (Ketua PBNU) terkait surat Al Ma’idah 51.
Hal ini beliau jelaskan menjawab pertanyaan dalam Seminar Nasional bertema Alquran untuk Semua, digelar HIQMA UIN Jakarta di Auditorium Harun Nasution, Kamis (20/10/2016).
Katanya, tidak ada lagi yang perlu ditafsirkan dari Al Maidah ayat 51. Pasalnya, ayat itu sudah jelas untuk tidak menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin. Apanya lagi yang mau ditafsirkan? Dua kali (dalam ayat tersebut) dikatakan dengan laa. Laa tidak ada takwil yang lain.
“Itu laa nahyi yufiidut tahrim, yang berarti tidak boleh atau jangan sekali-kali,” ujar ulama multitalenta itu; bukan hanya muwalah (urusan kepemimpinan), lanjutnya, termasuk yanshuruunahum (mendukung), wa yastanshoruunahum (meminta dukungan), wa yushoffuuna bihim, wa mu’aasyarotuhum.
“Buka kitab Bahrul Muhit karya Imam Zarkasyi Jilid 3 halaman 507 dan kitab Shofwatut Tafasir Jilid 1 halaman 479,” katanya menambahkan.
Menurutnya, tidak perlu lagi memperdebatkan yang sudah pasti. Karena ini siyasah syar’iyyah, maka diangkatlah pendapat Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang memperbolehkan. “Beliau bilang boleh. Itu belum titik, jangan berhenti sampai di situ, itu ada yang disembunyikan (oleh orang yang mengutip pendapat Imam Ibnu Taimiyah).

Lanjutannya, indad dhoruroh, jangan hanya (dikutip) bolehnya saja,” terangnya. Pendapat yang sudah dipolitisir inilah, yang dijual kemana-mana dengan mengangkat isu pemimpin nonmuslim yang jujur lebih baik daripada muslim yang tidak jujur; padahal Imam Ibnu Taimiyah memperbolehkan dengan syarat jika kondisinya sudah darurat.
“Pertanyaannya adalah, apakah saat sekarang ini posisi kita sudah darurat atau belum? Darurat itu seperti kalau tidak makan atau tidak minum, maka akan mati atau nyaris mati,” tandasnya. Terkait menempatkan kondisi darurat, dia menyarankan untuk membaca kitab Nazhoriyah Dhoruroh asy-Syar’iyyah (yang sudah diterjemahkannya dalam buku Konsep Darurat dalam Hukum Islam) karya Wahbah Zuhaili dan karya Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman; untuk urusan tafsir Alquran, fas aluu ahladzikri bukan ahlal jahli.” tutupnya. (sumber: Gebyar Santri NU Banua).
Kesimpulan, QS Al Maidah ayat 51 melarang orang-orang beriman agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab yang memberikan pertolongan dan perlindungan, apalagi untuk dipercaya sebagai pemimpin. (Al-Qur’an dan Tafsirnya, Kementerian Agama RI, jilid 2, hal.416-417)
Masih ada yang mau berkilah, kausa (illat) tidak dibolehkannya bermualat dengan orang Yahudi dan Nasrani, adalah karena mereka berkhianat, tetapi kalau mereka tidak berkhianat bahkan juga memikirkan kemaslahatan untuk umat Islam, berarti dibolehkan.
Nanti dulu, benarkah hal itu? Ingat, kita diadang oleh peringatan Allah QS Al Baqarah ayat 120, Wa lan tardha ‘ankal-yahudu wa lan-nashara hatta tattabi’a millatahum.
Penulis menerima SMS, bahwa yang dilarang bermuwalat dengan Yahudi dan Nasrani; kalau begitu nonmuslim lainnya dibolehkan. Nanti dulu, ingat kita diadang oleh QS An Nisa 144 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu).”
Jika ada pilot pesawat yang pandai namun kafir, dan ada pilot muslim tetapi tidak mahir, “pilih mana?” Pertanyaan ini menggiring kita kepada jawaban, kita memilih pilot pesawat yang mahir kendati nonmuslim; analoginya bahwa jika ada pemimpin yang hebat tetapi nonmuslim, kita dibolehkan memilihnya sebagai pemimpin.
Memilih pemimpin tidak bisa dianalogikan dengan masalah naik pesawat, karena para penumpang tidak berkewajiban memilih pilot, apakah muslim ataukah nonmuslim. Keahlian pilot ditentukan oleh perusahaan penerbangan; tentu akan memilih kebonafidan pilot.
Pilot terpilih bertugas untuk menerbangkan pesawat sesuai rute penerbangan, dia tidak mempunyai wewenang merubahnya. Berbeda dengan kepemimpinan umat yang harus memilih, dan pimpinan terpilih akan melaksanakan tugas sesuai kemauan dan keinginannya.
Ala kulli hal, “Wahai orang beriman pilihlah pemimpin muslim.” (*)